“Pendidikan yang diselenggarakan di UMI adalah pendidikan
dengan dasar dan paradigma Islam. Demikian halnya dakwah yang dilakukan
UMI adalah dakwah Islam. Hal ini penting untuk kembali diungkap agar
masyarakat dapat mengetahui dengan benar keberadaan UMI di tengah-tengah
masyarakat.”
H. Muh. Said Abd. Shamad, Lc, Ketua LPPI Perwakilan Indonesia Timur,
menyebut Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar sebagai benteng
salah satu mazhab Islam. Hal itu dinyatakan setelah Kepala Divisi
Kebudayaan Kedubes Iran mengunjungi UMI pertengahan September lalu.
Walaupun mengakui mengutip ucapan tersebut dari Ketua Yayasan Wakaf UMI,
yang belakangan diberitakan membantah hal tersebut, seorang dosen
senior UMI, Dr. Ir. Fuad Rumi, MS, menolak klaim tersebut. Baso
Mappadeceng, citizen reporter kami dari Makassar, merangkum perbincangan
masalah tersebut.
***************************************************************************************************************************************
Beberapa hari terakhir ini, Universitas Muslim Indonesia, yang lebih
dikenal dengan singkatan UMI, menjadi perbincangan menarik. Kali ini,
terkait Kunjungan Kepala Divisi Kebudayaan Kedutaan Besar Iran, M. Ali
Rabbani, Selasa lalu (18/9) ke Kampus UMI di Makassar.
Kunjungan tersebut menjadi langkah awal terjalinnya kerja sama antara
UMI dan Divisi Kebudayaan Kedutaan Iran, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan (baca FAJAR, 22 September 2012). Kedua lembaga akan
bekerjasama dalam program pertukaran mahasiswa, termasuk mengutus
dosen-dosen dari Iran untuk mengajar di UMI. Juga diberitakan, Iran
bakal membuka Iranian Corner di UMI (Tribun Timur, 22 September 2012).
Kunjungan tamu seperti itu lazimnya bukanlah hal yang ‘istimewa’,
terlebih lagi bagi sebuah perguruan tinggi yang sudah kerap menjalin
kerjasama dengan berbagai institusi atau negara lain. Peristiwa itu
menjadi menarik dan memantik diskusi (bahkan polemik di media cetak),
karena tamu yang berkunjung berasal dari Iran, negeri para Mullah, yang
menjadi representasi mazhab Syi’ah.
Rencana UMI menjalin kerjasama dengan pihak Kedutaan Besar Iran dalam
berbagai bidang, kontan mengundang beragam reaksi. Ada yang pro dan ada
juga yang kontra.
Reaksi positif tentu saja muncul dari tokoh-tokoh UMI. Seperti
diberitakan FAJAR, 22 September 2012, Rektor UMI, Prof Dr Hj, Masrurah
Mokhtar, menyambut baik kerjasama tersebut, bahkan menyebutkan bahwa
insya Allah dalam waktu dekat ini akan digelar Seminar Internasional
dengan tema Dialog Antar Mazhab, yang dilaksanakan UMI bekerjasama
dengan Kedutaan Iran.
Sementara itu, Ketua Yayasan Wakaf UMI, HM Mokhtar Noer Jaya
mengungkapkan rasa kagumnya melihat sistem pendidikan di Iran, terutama
di bidang eksakta. Menurutnya, Iran akan mengundang tim dari UMI untuk
berkunjung ke Iran dan mempelajari sistem pertanian di sana, terutama
belajar di universitas-universitas yang ada di Iran.
Sebaliknya, reaksi kontra muncul di salah satu media cetak di
Makassar. Seorang muballigh, H. Muh. Said Abd. Shamad, Lc (Ketua LPPI
Perwakilan Indonesia Timur) menulis artikel opini berjudul “UMI Benteng
Ahlussunnah Wal Jama’ah” di Harian FAJAR Jumat, 28 September 2012.
Dalam tulisannya Ustadz Muh. Said Abd. Shamad mengutip ceramah dari
Ketua Yayasan Wakaf UMI, H. Mokhtar Nur Jaya, yang belakangan disebutkan
membantah pemberitaan tersebut. menyebutkan bahwa UMI adalah benteng
Ahlusunnah wal jamaah (Sunni). Namun demikian, sampai saat ini, belum
ada bantahan resmi dari Ketua Yayasan Wakaf UMI, H. Mokhtar Nur Jaya
atas pemberitaan FAJAR dan Tribun Timur. Jika pemberitaan kedua media
cetak tersebut memang tidak benar dan bahkan merugikan citra UMI sebagai
perguruan tinggi Islam, tentu saja Yayasan Wakaf UMI yang diketuai H.
Mokhtar Nur Jaya atau Rektor UMI akan memberikan bantahan resmi melalui
kedua media tersebut.
Yang agak mengherankan dari tulisan Ustadz Said adalah
kekhawatirannya atas merebaknya ajaran Syiah di kalangan dosen dan
mahasiswa UMI, jika kerjasama Kedutaan Iran dan UMI dilanjutkan.
Kekhawatiran yang tidak proporsional seperti itu tidak hanya menunjukkan
ketidakfahaman atas konteks kerjasama antara dua lembaga, tetapi juga
‘merendahkan’ pemahaman keIslaman dan kemampuan nalar intelektual
civitas academica UMI dalam menyikapi perbedaan pemahaman dalam Islam.
Seolah-olah, dengan adanya kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dengan
Iran, maka dosen dan mahasiswa UMI akan serta merta dengan mudahnya
terpengaruh ajaran Syiah.
Menanggapi ‘klaim’ Ustadz Said tentang UMI, Dr. Ir. Fuad Rumi, MS
(Dosen dan salah seorang tokoh UMI) menulis artikel berjudul “UMI,
Lembaga Pendidikan dan Dakwah Islam” (FAJAR, Senin 1 Oktober 2012).
Ustadz Fuad Rumi menegaskan kembali peran historis UMI sebagai
lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang didirikan tidak atas dasar
pandangan mazhab tertentu dalam Islam, tapi atas dasar Islam. Yang
menjadi concern UMI adalah pendidikan dan dakwah, dalam rangka mengambil
peran bagi pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut, Ustadz Fuad menjelaskan bahwa “pendidikan yang
diselenggarakan di UMI adalah pendidikan dengan dasar dan paradigma
Islam. Demikian halnya dakwah yang dilakukan UMI adalah dakwah Islam.
Hal ini penting untuk kembali diungkap agar masyarakat dapat mengetahui
dengan benar keberadaan UMI di tengah-tengah masyarakat.”
Ustadz Fuad juga membantah klaim Ustadz Said tentang UMI
sebagai benteng Ahlusunnah wal jamaah. “Kata benteng mengajak kita pada
konotasi adanya serangan atau perang yang membutuhkan kita membuat
benteng pertahanan dengan asumsi adanya serangan dari luar. Menurut
piagam berdirinya, UMI tidak didirikan dengan beranjak dari persepsi
seperti itu. UMI tidak didirikan sebagai benteng, tetapi sebagai lembaga
pendidikan dan dakwah, yang bertujuan memajukan pendidikan masyarakat
berlandaskan pada ajaran Islam. UMI didirikan untuk mengemban misi Islam
yang rahmatan lil alamin dan kaffatan linnas. Jadi paradigma UMI bukan
paradigma benteng, apalagi sebagai benteng mazhab. Sekali lagi, kalau
pun harus digunakan kata benteng bagi UMI, maka UMI adalah benteng
Islam, bukan benteng mazhab”, demikian penjelasan Ustadz Fuad dalam
artikel opininya.
Meski semua yang mengabdi di UMI berasal (atau berafiliasi) dengan
ormas Islam yang berbeda, namun semuanya bersatu padu dalam bingkai
ukhuwah menjalankan misi UMI sebagai lembaga pendidikan dan dakwah.
Ustadz Fuad menambahkan, “UMI lebih mengutamakan persatuan (ittihad)
tanpa harus dikendalai oleh perbedaan paham dan mazhab. UMI memandang
perbedaan dalam mazhab-mazhab Islam adalah sebuah keragaman yang justru
menunjukkan kualitas dan keindahan Islam.”
Ustadz Fuad mengakhiri tulisannya dengan menyampaikan “kabar
gembira”, khususnya bagi umat yang mencintai “persatuan Islam”. Salah
satu hasil kesepakatan UMI dan Atase Kebudayaan Iran adalah UMI akan
mengadakan seminar internasional yang akan membicarakan tema besar
tentang persaudaraan Islam. Dalam seminar tersebut akan diundang
pembicara dari dua mazhab dalam Islam yakni sunni dan syiah, dari Arab
Saudi, Iran dan Indonesia. Dari Indonesia pembicara yang diharapkan
adalah representasi dari dua Ormas Islam besar yakni NU dan Muhammadiyah
serta juga dari MUI Pusat.
Melalui seminar internasional dengan tema tersebut, semoga UMI
semakin dapat menegaskanpositioning-nya sebagai lembaga pendidikan dan
dakwah terkemuka, yang menjadi perekat ukhuwah bagi umat dan dunia
Islam. Semoga!
Baso Mappadeceng, menulis
citizen report untuk www.majulah-ijabi.org
citizen report untuk www.majulah-ijabi.org
http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&Id=362178
Tidak ada komentar:
Posting Komentar